Status
Merupakan hama prapanen utama penyebab
kerusakan terbesar tanaman padi, terutama pada agroekosistem dataran
rendah dengan pola tanam intensif. Tikus sawah merusak tanaman padi pada
semua stadia pertumbuhan dari semai hingga panen (periode prapanen),
bahkan di gudang penyimpanan (periode pascapanen).
Kerusakan parah terjadi apabila tikus
menyerang padi pada stadium generatif, karena tanaman sudah tidak mampu
membentuk anakan baru. Ciri khas serangan tikus sawah adalah kerusakan
tanaman dimulai dari tengah petak, kemudian meluas ke arah pinggir,
sehingga pada keadaan serangan berat hanya menyisakan 1-2 baris padi di
pinggir petakan.
Biologi dan Ekologi
Tikus sawah digolongkan dalam kelas vertebrata (bertulang belakang), ordo rodentia (hewan pengerat), famili muridae, dan genus Rattus.
Tubuh bagian dorsal/ punggung berwarna coklat kekuningan dengan
bercak-bercak hitam di rambut-rambutnya, sehingga secara keseluruhan
tampak berwarna abu-abu. Bagian ventral/perut berwarna putih keperakan
atau putih keabu-abuan. Permukaan atas kaki seperti warna badan,
sedangkan permukaan bawah dan ekornya berwarna coklat tua. Tikus betina
memiliki 12 puting susu (6 pasang), dengan susunan 1 pasang pada
pektoral, 2 pasang pada postaxial, 1 pasang pada abdomen, dan 2 pasang
pada inguinal. Pada tikus muda/predewasa terdapat rumbai rambut berwarna
jingga di bagian depan telinga. Ekor tikus sawah biasanya lebih pendek
daripada panjang kepala-badan dan moncongnya berbentuk tumpul.
Panca indera tikus sawah berkembang baik
dan sangat menunjang setiap aktivitas kehidupannya. Sebagai hewan
nokturnal, mata tikus telah berkembang dan menyesuaikan untuk melihat
dalam intensitas cahaya rendah. Indera penciuman berkembang baik. Dengan
indera tersebut, tikus mendeteksi wilayah pergerakan tikus lain, jejak
anggota kelompoknya, dan betina estrus. Indera pendengaran tikus sawah
berkembang sempurna. Indera pengecap berkembang baik sehingga mampu
mendeteksi rasa pahit, racun, dan enak/tidaknya suatu pakan. Indera
peraba juga berkembang baik, kumis dan rambut-rambut panjang pada sisi
tubuhnya digunakan sebagai sensor sentuhan terhadap benda-benda yang
dilalui. Dengan indera yang berkembang dan terlatih tersebut, tikus
sawah memiliki kemampuan fisik yang prima seperti berlari, menggali,
memanjat, meloncat, melompat, mengerat, berenang, dan menyelam. Tikus
sawah juga berperilaku cerdik dan memiliki kemampuan belajar/mengingat
(meskipun terbatas).
Tikus sawah mempunyai kemampuan
reproduksi yang tinggi. Periode perkembang-biakan hanya terjadi pada
saat tanaman padi periode generatif. Dalam satu musim tanam padi, tikus
sawah mampu beranak hingga 3 kali dengan rata-rata 10 ekor anak per
kelahiran. Tikus betina relatif cepat matang seksual (±1 bulan) dan
lebih cepat daripada jantannya (±2-3 bulan). Cepat/lambatnya kematangan
seksual tersebut tergantung dari ketersediaan pakan di lapangan. Masa
kebuntingan tikus betina sekitar 21 hari dan mampu kawin kembali 24-48
jam setelah melahirkan (post partum oestrus). Terdapatnya padi
yang belum dipanen (selisih hingga 2 minggu atau lebih) dan keberadaan
ratun (Jawa : singgang) terbukti memperpanjang periode reproduksi tikus
sawah. Dalam kondisi tersebut,anak tikus dari kelahiran pertama sudah
mampu bereproduksi sehingga seekor tikus betina dapat menghasilkan total
sebanyak 80 ekor tikus baru dalam satu musim tanam padi. Dengan
kemampuan reproduksi tersebut, tikus sawah berpotensi meningkatkan
populasinya dengan cepat jika daya dukung lingkungan memadai.
Tikus sawah bersarang pada lubang di
tanah yang digalinya (terutama untuk reproduksi dan membesarkan anaknya)
dan di semak-semak (refuge area/habitat pelarian). Sebagai
hewan omnivora (pemakan segala), tikus mengkonsumsi apa saja yang dapat
dimakan oleh manusia. Apabila makanan berlimpah, tikus sawah cenderung
memilih pakan yang paling disukainya yaitu padi. Tikus menyerang padi
pada malam hari. Pada siang harinya, tikus bersembunyi di dalam lubang
pada tanggul-tanggul irigasi, jalan sawah, pematang, dan daerah
perkampungan dekat sawah. Pada saat lahan bera, tikus sawah
menginfestasi pemukiman penduduk dan gudang-gudang penyimpanan padi dan
akan kembali lagi ke sawah setelah pertanaman padi menjelang generatif.
Kehadiran tikus pada daerah persawahan dapat dideteksi dengan memantau keberadaan jejak kaki (foot print), jalur jalan (run way), kotoran/feses, lubang aktif, dan gejala serangan.
Pengendalian
Pengendalian tikus dilakukan dengan
pendekatan PHTT (Pengendalian Hama Tikus Terpadu) yaitu pendekatan
pengendalian yang didasarkan pada pemahaman biologi dan ekologi tikus,
dilakukan secara dini, intensif dan terus menerus dengan memanfaatkan
semua teknologi pengendalian yang sesuai dan tepat waktu. Pelaksanaan
pengendalian dilakukan oleh petani secara bersama-sama dan terkoordinasi
dengan cakupan wilayah sasaran pengendalian dalam skala luas.
Kegiatan pengendalian tikus ditekankan
pada awal musim tanam untuk menekan populasi awal tikus sejak awal
pertanaman sebelum tikus memasuki masa reproduksi. Kegiatan tersebut
meliputi kegiatan gropyok masal, sanitasi habitat, pemasangan TBS dan
LTBS. Gropyok dan sanitasi dilakukan pada habitat-habitat tikus seperti
sepanjang tanggul irigasi, pematang besar, tanggul jalan, dan batas
sawah dengan perkampungan. Pemasangan bubu perangkap pada pesemaian dan
pembuatan TBS (Trap Barrier System / Sistem Bubu Perangkap) dilakukan pada daerah endemik tikus untuk menekan populasi tikus pada awal musim tanam.
Kegiatan pengendalian yang sesuai dengan stadia pertumbuhan padi antara lain sbb. :
TBS merupakan petak tanaman padi dengan
ukuran minimal (20 x 20)m yang ditanam 3 minggu lebih awal dari tanaman
di sekitarnya, dipagar dengan plastik setinggi 60 cm yang ditegakkan
dengan ajir bambu pada setiap jarak 1 m, bubu perangkap dipasang pada
setiap sisi dalam pagar plastik dengan lubang menghadap keluar dan jalan
masuk tikus. Petak TBS dikelilingi parit dengan lebar 50 cm yang selalu
terisi air untuk mencegah tikus menggali atau melubangi pagar plastik.
Prinsip kerja TBS adalah menarik tikus dari lingkungan sawah di
sekitarnya (hingga radius 200 m) karena tikus tertarik padi yang ditanam
lebih awal dan bunting lebih dahulu, sehingga dapat mengurangi populasi
tikus sepanjang pertanaman.
LTBS merupakan bentangan pagar plastik
sepanjang minimal 100 m, dilengkapi bubu perangkap pada kedua sisinya
secara berselang-seling sehingga mampu menangkap tikus dari dua arah
(habitat dan sawah). Pemasangan LTBS dilakukan di dekat habitat tikus
seperti tepi kampung, sepanjang tanggul irigasi, dan tanggul
jalan/pematang besar. LTBS juga efektif menangkap tikus migran, yaitu
dengan memasang LTBS pada jalur migrasi yang dilalui tikus sehingga
tikus dapat diarahkan masuk bubu perangkap.
Fumigasi paling efektif dilakukan pada
saat tanaman padi stadia generatif. Pada periode tersebut, sebagian
besar tikus sawah sedang berada dalam lubang untuk reproduksi. Metode
tersebut terbukti efektif membunuh tikus beserta anak-anaknya di dalam
lubangnya. Rodentisida hanya digunakan apabila populasi tikus sangat
tinggi, dan hanya akan efektif digunkan pada periode bera dan stadium
padi awal vegetatif.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar